Rabu, 29 Agustus 2012

Penemu Benua Amerika


KLAIM BELAKA PENEMU BENUA AMERIKA

Suatu fakta sejarah tidak bersifat statis, dalam artian kebenaran sejarah seiring berjalannya waktu bisa berubah dengan bukti-bukti yang lebih terkait dan konkret daripada bukti-bukti yang ada sebelumnya. Jadi, fakta atau kebenaran sejarah akan berubah (bersifat dinamis) bila suatu saat nanti ditemukan bukti-bukti yang lebih menunjang kebenaran dari suatu sejarah tersebut.
Di Indonesia misalnya, fakta mengenai peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) seiring berjalannya waktu berubah setelah ditemukannya beberapa bukti dan ketidaksesuaian pada bukti sebelumnya. Dimana, fakta yang kita ketahui selama ini bahwa pembantaian terhadap beberapa jenderal Angkatan Darat (AD) dilakukan benar-benar dengan tindakan yang sangat tidak berprikemanusiaan. Tetapi beberapa waktu lalu wacana tersebut ternyata tidak sesuai dengan fakta yang benar-benar  terjadi. Memang ada pembunuhan yang dilakukan oleh pihak tertentu terhadap jendral AD tersebut, tetapi proses pembunuhannya tidak sesadis yang kita tahu sebelumnya.
Oleh sebab hal di ataslah nampaknya kita harus mengubah pemikiran kita yang mungkin sudah melekat di otak kita yaitu mengenai penemu benua Amerika. Selama ini yang kita tahu bahwa Christopher Colombus dan Amerigo Vespucci  yang menemukan benua Amerika. Padalah, hal tersebut hanyalah klaim belaka yang tidak didasari oleh bukti-bukti signifikan yang benar-benar menyatakan dua orang tersebutlah yang menemukan benua Amerika.
Didasari dengan literatur dan bukti-bukti fisik konkret yang benar-benar menunjang sehingga hilangnya keraguan untuk menyebutkan bahwa benua Amerika bukan ditemukan oleh Christopher Colombus. Dimana, 70 tahun sebelum Columbus menjejakkan kaki di daerah yang sekarang kita kenal dengan benua  Amerika, Laksamana Muslim dari China bernama Ceng Ho (Zheng He) telah mendarat di Amerika. Bahkan, armada dan kapal Ceng Ho jauh lebih besar dari kapal milik Columbus. Namun karena sejarah dunia ditulis oleh orang lain (orang-orang Eropa yang cenderung tidak akur dengan Islam), maka fakta bahwa Ceng Ho mendarat lebih dahulu dari Colombus seolah lenyap atau mungkin dilenyapkan yang bersembunyi  atau disembunyikan di balik kebohongan yang sebenarnya nyata.


Di satu sisi, ada catatan dari Colombus sendiri, bahwa pada 21 Oktober 1492 dia melihat masjid dalam pelayarannya antara Gibara dan Pantai Kuba. Ini menunjukkan bahwa Colombus pun mengakui bahwa sudah ada sejumlah masyarakat di Amerika yang memeluk agama Islam, sebelum kedatangannya. Colombus mengira bahwa pulau tersebut masih perawan, belum berpenghuni sama sekali. Mereka berorientasi menjadikan pulau tersebut sebagai perluasan wilayah Spanyol. Tetapi setelah menerobos masuk, Columbus ternyata kaget menemukan bangunan yang persis pernah ia lihat sebelumnya ketika mendarat di Afrika. Bangunan megah itu adalah Masjid yang dipakai oleh Orang-orang Islam untuk beribadah.
Selain itu, berabad sebelum Ceng Ho, pelaut-pelaut Muslim dari Spanyol dan Afrika Barat telah membuat kampung-kampung di Amerika dan berasimilasi secara damai dengan penduduk lokal di sana. Jadi, penemu Amerika bukanlah Columbus melainkan Umat Islam, sayang saja ketika itu orang-orang Muslim tidak memberikan nama pada daerah tersebut, padahal kalau saja mereka memberikan nama, semisal Moeslem Venue (Benua Muslim) mungkin sampai sekarang kita tidak mengenal yang namanya benua Amerika, tetapi Benua Muslim.
Ada fakta yang menarik tentang islamnya suku-suku asli yang menghuni benua Amerika, yaitu Indian. Tercatat begitu banyak bukti bahwa suku-suku itu banyak yang sudah mengenal agama Islam, seperti Apache, Cherokee, Sioux, Anasazi, Arawak, Arikana, Chavin Cree, Makkah (mirip nama mekkah Al-Mukarramah), Hohokam, Hupa, Hopi, Mahigan, Mohawk, Nazca, Zulu, dan Zuni.
Begitu banyak bukti bahwa bangsa Indian sudah memeluk agama Islam. Misalnya, beberapa tulisan cherokee abad ke-7 terpahat pada bebatuan di Nevada sangat mirip dengan tulisan “Muhammad” dalam bahasa Arab.

Dari gambar di atas, tertulis sebuah tulisan di atas batu yang bernuansa atau bertuliskan bahasa Arab dengan kata Muhammad tetapi tidak sempurna, itu merupakan bukti yang sangat jelas dan tak diragukan lagi bahwa penemu benua Amerika adalah orang Islam, bukan Columbus atau Vespucci. Karena penulis berkeyakinan 100 persen bahwa dua orang tersebut (Columbus dan Vespucci) tidak bisa menulis Arab.
Ciri lainnya adalah foto atau lukisan yang kita lihat tentang kostum yang dikenakan oleh bangsa Indian. Ternyata banyak kepala suku Indian mengenakan tutup kepala khas orang Islam, seperti sorban ini.
Dan fakta yang tidak terbantahkan, adalah sebuah naskah perjanjian antara pemerintah Amerika dan Kepala Suku Indian Cherokee. Naskah itu hingga kini masih tersimpan rapi di gedung Arsip Perpustakaan Nasional di ibukota Washington DC. Yang menarik, nama kepala Suku Cherokee adalah Abdel-Khak and Muhammad Ibnu Abdullah. Jelas itu nama muslim. (Mohon maaf, penulis tidak bisa menampilkan gambar naskah tersebut, karena gambar yang penulis peroleh belum jelas kebenarannya).
Namun populasi suku Indian yang banyak menganut agama Islam menurun drastis akibat pembantaian. Salah satunya kebijakan resmi yang sangat tidak bijaksana dari pemerintah USA berupa Indian Removal Act tahun 1830 yang memberikan izin resmi buat bangsa Eropa untuk mengusir atau membunuh bangsa Indian. Tercatat lebih dari 70.000 orang indian di usir dari tanahnya sehingga mengakibatkan ribuan orang meninggal.
Fakta mengenai Islam sebagai penemu benua Amerika belum berhenti sampai disitu, dalam proses pelayaran Columbus yang diklaim berhasil menemukan benua Amerika terselip fakta yang menurut saya sangat tidak tahu malu apabila mereka (orang Eropa/non muslim) mengatakan Columbus lah penemu benua Amerika. Hal tersebut didasari oleh fakta bahwa Columbus dan para penjelajah Spanyol serta Portugis mampu menyeberang Samudra Atlantik dalam jarak sekitar 2400 km, adalah karena bantuan informasi geografis dan navigasi dari peta yang dibuat oleh pedagang-pedagang Muslimin.
Selain itu, tidak banyak diketahui orang, bahwa Columbus dibantu oleh dua orang nakhoda Muslim pada waktu ekspedisi pertamanya menyeberang transatlantik. Kedua kapten Muslim itu adalah dua bersaudara Martin Alonso Pinzon yang menakodai kapal Pinta, dan Vicente Yanez Pinzon yang menakodai kapal Nina. Keduanya adalah hartawan yang mahir dalam seluk-beluk perkapalan, membantu Columbus dalam organisasi ekspedisi itu, dan mempersiapkan perlengkapan kapal bendera Santa Maria. Bersaudara Pinzon ini masih memiliki ikatan kekeluargaan dengan Abuzayan Muhammad III (1362-1366), Sultan Maroko dari dinasti Marinid (1196-1465).
Sangat luar biasa Islam, jikapun fakta mengenai penemu Amerika tidak bisa berubah nantinya (tetap meyakini bahwa Columbus sebagai penemu benua Amerika) Islam tidak bisa dimarjinalkan, karena dalam proses Columbus menemukan benua Amerika, Islam sangat berkontribusi besar. Selain hal-hal yang terungkap di atas, banyak sekali fakta lain yang bisa menggugah kita mengenai Islam sehingga akan mengantarkan kita kepada sebuah rasa yang sangat mendalam terhadap Islam, yaitu sebuah rasa yang bermakna super ganda, yang manusia pasti rasa, yang indah  kata pujangga, yang berakhiran a, bernama cinta.

Oleh: Muhammad Iqbal Fauzi

Sumber
H.A. Mukti Ali. 2003. Pergolakan Pemikiran Islam (Catatan Harian Ahmad Wahib). Jakarta: LP3ES.


Kamis, 28 Juni 2012

Tanjung Pasir dan Kuta

Antara Tanjung Pasir dan Kuta

Allah memberkahi Indonesia dengan keindahan alam yang sangat luar biasa, salah satunya adalah pantai. Di Indonesia banyak sekali pantai yang menyuguhkan keindahan fanorama alam yang menawan. Sebut saja yang sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia adalah pantai Kuta di Bali dan pantai-pantai lainnya yang juga memiliki potensi yang luar biasa tetapi masih terlalu asing bahkan untuk orang Indonesia sendiri, seperti pantai Tanjung Pasir (Promontory of sand Beach) yang ada di Teluknaga Tangerang Banten.
Kabupaten Tangerang Banten, mempunyai potensi bahari dengan garis pantai Utara-nya yang panjangnya berkisar 50 KM, dari Pantai Dadap sampai Pantai Kronjo yang meliputi 7 kecamatan, yaitu: Kosambi, Teluknaga, Paku Haji, Kronjo, Sukadiri, Kemiri dan Mauk. Salah satu kawasan wisata bahari yang cukup ramai dikunjungi orang saat liburan, baik liburan akhir pekan atau liburan nasional lainnya adalah pantai Tanjung Pasir yang masuk wilayah kecamatan Teluknaga.

Sekilas tentang Teluknaga
Teluknaga adalah salah satu Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Tangerang dengan Jumlah penduduk kurang lebih sekitar 500.000 Jiwa yang tersebar ke dalam 13 desa. Mayoritas masyarakat Teluknaga tergolong ke dalam Betawi Pesisir meskipun ada juga yang tergolong Betawi udik. Wilayah yang saat ini dipimpin oleh seorang Camat bernama Mulyadi,S.Sos.M.Si ini memiliki batas-batas wilayah yang antara lain:
·         Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
·         Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta, dan Laut Jawa.
·         Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Salembaran Jati
·         Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tegalangus, dan desa Tanjung Pasir

Menuju ke pantai Tanjung Pasir yang jaraknya berkisar +/- 29 KM dari Kota Tangerang atau +/- 25 KM dari exit pintu M-1 (west gate) Bandara Soekarno Hatta melalui jalan Marsekal Surya Darma (Jalan Selapajang). Setelah itu melewati daerah Kampung Melayu Teluknaga, selepas pasar Kampung Melayu maju sekitar 200 meter ambil arah kanan persis di depan sekolah Strada, kita sudah memasuki jalan Tanjung Pasir. Dimana setelah memasuki jalan Raya Tanjung Pasir para pengguna jalan akan disuguhkan dengan suasana pedesaan yang cukup bersih dan rapi, dengan jalan yang bagus, berkisar 15 menit menuju Pantai Tanjung Pasir. Selain itu pengguna jalan akan pula disuguhi puluhan rumah makan/saung-saung ala seafood dengan bangunan bambu di sebelah kiri jalan dan beberapa di sebelah kanan yang siap menanti setiap orang yang ingin mampir makan dengan menu spesial ikan bakarnya. Kondisi jalan menuju ke pantai cukup bagus, dilengkapi dengan jaringan telekomunikasi dengan layanan interlokal, jaringan listrik dan prasarana air bersih
Selain itu, tepatnya di Jalan Tanjung Pasir KM.7, kita akan temui papan nama besar tertulis Tanjung Pasir Resort-Fishing, Hotel, Cafe, Restaurant and Pool dan di sebelah kanan ada Taman Buaya Tanjung Pasir-Taman Rekreasi & Hiburan, tempat penangkaran buaya, dengan ciri khas di depannya ada patung buaya besar. Tempat di atas tersebut hanya terdapat satu saja sepanjang jalan menuju Pantai Tanjung Pasir, karena lebih didominasi dengan tempat-tempat bernuansa tradisional. Hal tersebut sangat jauh berbeda dengan keadaan menuju pantai Kuta Bali, dimana sangat didominasi dengan tempat-tempat modern (pertokoan, hotel, cafe, restoran, tempat pemancingan modern, dan lain-lain).
Setelah melewati gapura Selamat Datang Di Desa Tanjung Pasir, sekitar 200 meter melewati rumah-rumah penduduk setempat, pintu Selamat Datang di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Pasir-Penyeberangan Pulau Seribu dengan penjagaan beberapa orang untuk menyodorkan tiket tanda masuk, barulah kita menemui suasana pantai dengan perahu-perahu kayu siap mengantar kita ke Pulau Seribu, karena pantai Tanjung Pasir ini merupakan salah satu akses menuju Kepulauan Seribu.
Berbeda dengan tempat wisata pantai lainnya, pantai Tanjung Pasir tidak terdapat toko-toko yang menjual buah tangan untuk para pengunjung, selain itu kondisi air laut pantai ini tidak seperti pantai wisata lainnya, yaitu bersih dan biru, karena kondisi air laut pantai Tanjung Pasir sangat kotor dan tidak menarik. Tapi hal tersebut tidak menjadikan pantai Tanjung Pasir sepi pengunjung. Yang menjadi daya tarik utama pantai ini adalah, karena pantai Tanjung Pasir merupakan akses untuk berkunjung ke Pulau Untung Jawa (salah satu pulau di Kepulauan Seribu) dan wisata pantai terdekat bagi warga masyarakat kota dan kabupaten Tangerang. Oleh karena merupakan akses untuk berkunjung ke Kepulauan Seribu itulah penulis berkeyakinan bahwa Pantai Tanjung Pasir akan mengalami kemajuan tiap tahunnya, terlebih lagi setelah dicanangkannya pantai Tanjung Pasir sebagai wisata pantai berkapasitas mancanegara.
Untuk mencapai tujuan yang telah dicanangkan, pantai Tanjung Pasir haruslah bercermin pada pantai Kuta Bali. Bercermin disini bukan dalam artian meniru budaya masyarakat sekitar pantai Kuta, tetapi meniru pelestariann alamnya yang baik. Diantara usaha pemerintah setempat untuk menguatkan citra Tanjung Pasir sebagai kawasan pariwisata adalah sering digelarnya pesta nelayan yang diselenggrakan setiap satu tahun sekali.
Pantai Kuta adalah sebuah tempat pariwisata yang terletak di sebelah selatan Denpasar, ibu kota Bali, Indonesia. Kuta terletak di Kabupaten Badung. Daerah ini merupakan sebuah tujuan wisata turis mancanegara, dan telah menjadi objek wisata andalan Pulau Bali sejak awal 70-an. Pantai Kuta sering pula disebut sebagai pantai matahari terbenam (sunset beach) sebagai lawan dari pantai Sanur.
Di Kuta terdapat banyak pertokoan, restoran dan tempat permandian serta menjemur diri. Selain keindahan pantainya, pantai Kuta juga menawarkan berbagai macam jenis hiburan lain misalnya bar dan restoran di sepanjang pantai menuju pantai Legian. Rosovivo, Ocean Beach Club, Kamasutra, adalah beberapa club paling ramai di sepanjang pantai Kuta. Berbeda bukan dengan keadaan pantai Tanjung Pasir, di Tanjung Pasir tidak mungkin ditemukan club seperti di Bali. Pantai ini juga memiliki ombak yang cukup bagus untuk olahraga selancar (surfing), terutama bagi peselancar pemula.
Pantai Kuta, pantai yang terkenal karena sunsetnya, selalu menjadi pilihan utama bagi wisatawan domestik maupun asing yang berlibur ke Bali. Pantai dengan pasir putih ini membentang panjang sampai ke kawasan airport Bali I Gusti Ngurai Rai dan kawasan wisata Seminyak atau Kerobokan.
Di siang hingga sore hari, Pantai Kuta banyak digunakan sebagai kegiatan surfing, sunbathing, dan kegiatan santai lainnya. Di sore hari, banyak orang yang menghabiskan untuk bermain bola atau hanya sekedar menikmati indahnya sunset pantai Kuta.
Selain terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara Tanjung pasir dan Kuta seperti yang tertera di atas, ternyata kedua pantai ini juga memiliki persamaan, yaitu mengenai masalah yang dihadapi berupa penumpukan sampah. Keberadaan sampah dalam satu objek wisata tidak dapat kita hindari, tapi harusnya ini menjadi perhatian yang serius oleh setiap pengelola objek wisata.
Dalam dunia pariwisata kita mengenal adanya istilah “Community Based Development”. Dimana pengembangan suatu kawasan wisata sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat sebagai pengelola dan menjaga keberadaan objek wisata tersebut. Maka dari itulah persoalan sampah adalah merupakan persoalan kita semua, bukan hanya dalam dunia pariwisata tapi dalam sektor lain sepanjang manusia itu hidup dan berada.

Masyarakat Sekitar Pantai Tanjung pasir
Pada awalnya, penduduk asli sekitar pantai Tanjung Pasir tergolong ke dalam Betawi Pesisir dan sedikit Betawi Udik. Tetapi karena banyak orang-orang dari luar yang melihat potensi besar pada wilayah ini dengan mendirikan tambak yang jumlahnya mecapai puluhan hektar, golongan asli Tanjung Pasir (Betawi Pesisir dan Betawi Udik) mulai tercampur dan membaur dengan orang-orang dari golongan atau suku lain. Hal tersebut disebabkan orang-orang yang memiliki tambak, lebih suka tambak yang dimilikinya diurus atau dikelola oleh orang luar (bukan penduduk Tanjung Pasir), seperti orang Jawa.
Selain itu, tidak menutup sedikit para pekerja dari luar tersebut (Jawa) menikah dengan penduduk setempat sampai memiliki keturunan yang akhirnya berdomisiri di Tanjung Pasir, meskipun sesekali pulang ke Jawa (pada hari raya misalnya).
Dari percampuran kedua suku tesebut maka secara otomatis akan menyebabkan perubahan budaya pada kedua suku tersebut. Misalnya seorang pekerja dari Jawa yang menikah dengan wanita asli Teluk Naga (khususnya:Tanjung Pasir) maka ia tentu akan mengikuti budaya yang ada di Teluk Naga, begitupun sebaliknya, wanita tersebut tentu akan sedikit mengikuti budaya Jawa.
Mayoritas penduduk sekitar pantai Tanjung Pasir adalah Bergama Islam dan memiliki mata pencaharian yang berhubungan dengan perikanan. Wilayah permukiman mereka berada di antara kolam-kolam ikan (tambak) yang bukan lagi miliknya. Orang kampung ini umumnya saling mengenal dengan baik di antara mereka. Dalam waktu-waktu senggang, mereka banyak menggunakan waktunya untuk nongkrong dan bercanda di balai-balai depan rumahnya.
Mata pencaharian mereka menangkap ikan di muara sungai dan di tepian laut dengan cara yang sederhana. Di muara sungai, penduduk sekitar pantai menggunakan perangkap ikan (serok) dan jala dengan hasil tangkapan yang tidak banyak. Di tepian laut, penduduk sekitar pantai (nelayan) menggunakan minimal dua perahu (yang juga bukan miliknya) dan perangkap ikan (serok) dengan kedalaman 3-7 meter. Cara ini selain cukup rumit untuk dilakukan, juga hanya dapat dilakukan di tepi pantai. Selain itu, cara ini tidak banyak dilakukan di lepas pantai. Itupun hasilnya juga tidak banyak dan hasil tangkapan ikannya masih dibagi-bagi lagi dengan pemilik perahu, dengan perbandingan satu bagian bagi nelayan dan dua bagian bagi pemilik perahu. Hasil tangkapan ikan umumnya dijual ke pasar ikan di Kamal Muara melalui laut. Yang dijual adalah jenis ikan yang bagus-bagus, sisanya dipakai untuk makan sendiri.
Penghasilan mereka dalam sehari rata-rata Rp. 15.000,-. Dalam kondisi bagus mereka bisa memperoleh penghasilan Rp. 40.000,- sedangkan kalau lagi apes mereka tidak mendapatkan apa-apa bahkan harus merogoh saku mereka untuk beli minyak dan solar.
Berbeda dengan sekarang, penduduk pesisir pantai Tanjung Pasir untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang berkaitan dengan faktor ekonomi tidak lagi terpaku pada mata pencaharian sebagai nelayan. Hal tersebut dikarenakan sudah semakin banyaknya anak-anak di pesisir pantai Tanjung Pasir yang memiliki ijazah SMA sehingga mereka lebih memilih untuk untuk berkerja di Perseroan Terbatas (PT). Pendapat yang mereka dapatkan pun lebih baik ketimbang menjadi nelayan, kurang lebih sekitar 1. 200. 000 per bulan. Meskipun demikian, hal tersebut tidak serta merta membuat mereka meninggalkan pekerjaan yang sudah dijalani turun temurun, sesekali setiap hari libur kerja mereka membantu orang tuanya untuk mencari ikan.


Masyarakat Sekitar Pantai Kuta Bali
Penghuni pertama pulau Bali (umumnya) diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian Barat pulau. Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya ajaran Hindu dan tulisan Sansekerta dari India pada 100 SM.
Awalnya kebudayaan masyarakat pantai Kuta juga masih sangat kental. Tak ada bangunan permanen di pinggir pantai, hanya beberapa gubug yang ditinggali oleh masyarakat setempat. Masih di pinggir pantai, terdapat ladang yang digunakan penduduk untuk menanam kedelai. Pantai yang landai dan langsung diterpa ombak menyebabkan tak ada penduduk yang melaut. Bila melihat ke belakang, akan tampak dua buah bukit yang bagian lerengnya digunakan penduduk setempat untuk menanam jagung sebagai sumber makanan pokok. Tapi sekarang tanah di puncak bukit tersebut telah dibeli oleh investor untuk dibangun sebuah villa yang harapannya bisa digunakan sebagai penginapan wisatawan.
Mata pencaharian penduduk sekitar patai Kuta awalnya ada yang bercocok tanam, seperti menanam jagung dan lainnya, tetapi hal tersebut sudah jarang terlihat di Kuta karena sulitnya lahan akibat dari berdirinya villa-villa untuk penginapan wisatawan. Mata pencaharian penduduk sekitar pantai Kuta sekarang sudah mengalami peralihan, dimana sudah didominasi dengan usaha buah tangan, artinya banyak penduduk sekitar Kuta yang menjual oleh-oleh berupa kerajinan, makanan dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sumber:
http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/beach/sepanjang/
http://shannypersonalblog.wordpress.com/2011/04/08/menyoal-sampah-di-pantai-kuta-bali/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pantai_Kuta
http://www.promolagi.com/tips_det.php?tip=257Pantai Tanjung Pasir Tangerang

Kontroversi Islam di Kampung Naga


KONTROVERSI ISLAM DI KAMPUNG NAGA

Kampung Naga telah lama dikenal sebagai salah satu kampung adat di Jawa Barat, dimana perkampungan ini dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian antropologi mengenai kehidupan masyarakat pedesaan Sunda di masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di Jawa Barat. Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Menurut salah satu versi sejarahnya, Kampung Naga bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Kemudian seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke arah barat dan sampai di daerah Neglasari. Di tempat tersebut, Singaparana disebut Sembah Dalem Singaparana oleh masyarakat setempat. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk untuk bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.
Tokoh leluhur Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat setempat adalah Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana atau Eyang Galunggung, yang dimakamkan di sebelah barat Kampung Naga. Makam ini dianggap sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Lokasi Kampung Naga sendiri tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya.
Selain itu, ada versi lain yang mengatakan mengenai sejarah dari Kampung Naga, yaitu bahwa kampung ini dahulunya berasal dari para prajurit Sultan Agung Mataram yang kalah perang, dan ketika mereka mundur untuk kembali ke Mataram mereka beristirahat di tempat yang sekarang disebut Kampung Naga, setelah sampai di tempat ini mereka memutuskan menetap. Mereka inilah yang dianggap leluhur masyarakat Naga. 
Kampung ini berada di lembah yang subur, dengan batas alam di sebelah Barat berupa hutan yang dianggap keramat karena terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked) sampai ke tepi Sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan sampai ke dalam Kampung Naga.
Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
Penduduk Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat patuh pada warisan nenek moyang. Umpanya sembahyang lima waktu: Subuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan shalat Isya, hanya dilakukan pada hari Jumat. Pada hari-hari lain mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jum’at.
Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri. Dapat kita saksikan sendiri, kultur Islam di Kampung Naga yang berbeda sungguh amat sangat disayangkan, karena hal itu merupakan wujud nyata penyimpangan terhadap Islam sebagai agama, terutama tentang paham melaksanakan shalat lima waktu hanya sehari dalam seminggu saja.
Padahal yang namanya Islam haruslah sesuai dengan syariat agama Islam itu sendiri, apalagi mengenai rukun Islam yang ketentuannya sudah tidak bisa ditawar atau diganggu gugat kecuali ada udzur. Kegiatan ke-Islaman yang dilakukan masyarakat Kampung Naga sudahlah menyimpang dari ketentuan ajaran Islam, terlebih lagi mengenai proses sholat lima waktu yang hanya dilakukan satu hari dalam satu minggu. Inilai kontroversi Islam yang terjadi di Kampung Naga, mereka lebih memegang erat adat warisan nenek moyang ketimbang ketentuan agama yang mereka anut (Islam).
Seharusnya, masyarakat Kampung Naga membuat agama tersendiri berdasarkan keyakinan terhadap nenek moyang mereka tanpa mengaitkan kata Islam pada kepercayaan mereka. Karena secara tidak langsung mereka telah merubah dan merusak citra agama Islam dengan menomor duakan syariat Islam daripada kepercayaan mereka terhadap adat warisan nenek moyang.
Islam sendiri tidak melarang suatu adat istiadat apabila sesuai dengan ketentuan yang berlaku, masalah mengenai kontroversi Islam di Kampung Naga adalah mengenai bukannya adat istiadat mereka yang sisesuaikan dengan syariat Islam tetapi sebaliknya, dalam artian syariat Islam yang mengikuti adat istiadat warisan nenek moyang mereka. Menurut hemat penulis, masyarakat Kampung Naga harus mengalami pembaharuan. Pembaharuan yang dimaksud bukanlah suatu pembaharuan mengenai penetapan adat istiadat mereka sebagai acuan beragama, tetapi syariat agama yang harus mereka jadikan acuan dalam melestarikan adat istiadat warisan nenek moyang mereka, atau dengan menetapkan keyakinan mereka terhadap adat istiadat nenek moyang sebagai agama mereka dan tidak menyertai kata Islam di dalamnya.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Sumber:
http://www.uniknya.com/2011/08/5-wisata-kampung-adat-di-jawa-barat/