KONTROVERSI
ISLAM DI KAMPUNG NAGA
Kampung Naga telah lama dikenal sebagai salah
satu kampung adat di Jawa Barat, dimana perkampungan ini dihuni oleh sekelompok
masyarakat yang sangat kuat dalam memegang adat istiadat peninggalan
leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti
permukiman Badui, Kampung Naga menjadi objek kajian antropologi mengenai
kehidupan masyarakat pedesaan Sunda di masa peralihan dari pengaruh Hindu
menuju pengaruh Islam di Jawa Barat. Kampung ini secara administratif berada di
wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.
Menurut
salah satu versi sejarahnya, Kampung Naga bermula pada masa kewalian Syeh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Kemudian seorang abdinya
yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke arah
barat dan sampai di daerah Neglasari. Di tempat tersebut, Singaparana disebut Sembah
Dalem Singaparana oleh masyarakat setempat. Suatu hari ia mendapat ilapat
atau petunjuk untuk bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat
petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung
Naga.
Tokoh
leluhur Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat
setempat adalah Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana
atau Eyang Galunggung, yang dimakamkan di sebelah barat Kampung Naga.
Makam ini dianggap sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat
diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Lokasi Kampung Naga sendiri
tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota
Tasikmalaya.
Selain
itu, ada versi lain yang mengatakan mengenai sejarah dari Kampung Naga, yaitu bahwa
kampung ini dahulunya berasal dari para prajurit Sultan Agung Mataram yang
kalah perang, dan ketika mereka mundur untuk kembali ke Mataram mereka
beristirahat di tempat yang sekarang disebut Kampung Naga, setelah sampai di
tempat ini mereka memutuskan menetap. Mereka inilah yang dianggap leluhur masyarakat
Naga.
Kampung
ini berada di lembah yang subur, dengan batas alam di sebelah Barat berupa
hutan yang dianggap keramat karena terdapat makam leluhur masyarakat Kampung
Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara
dan Timur dibatasi oleh Sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung
Cikuray di daerah Garut. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya
Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok (Sunda sengked)
sampai ke tepi Sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan jarak
kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak menyusuri sungai Ciwulan
sampai ke dalam Kampung Naga.
Bentuk
rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu.
Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus
terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau
ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari
bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali
dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu
membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah
tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat
tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena
menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui
pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang
daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam
satu garis lurus.
Penduduk
Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat
lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek
moyangnya. Artinya, walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, syariat
Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya.
Bagi masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan agamanya sangat patuh pada
warisan nenek moyang. Umpanya sembahyang lima waktu: Subuh, Dzuhur, Ashar,
Maghrib, dan shalat Isya, hanya dilakukan pada hari Jumat. Pada hari-hari lain
mereka tidak melaksanakan sembahyang lima waktu. Pengajaran mengaji bagi
anak-anak di Kampung Naga dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis,
sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam Jum’at.
Dalam
menunaikan rukun Islam yang kelima atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak
perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah, namun cukup
dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan dengan Hari Raya Haji yaitu setiap
tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara Hajat
Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari Raya
Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri. Dapat kita
saksikan sendiri, kultur Islam di Kampung Naga yang berbeda sungguh amat sangat
disayangkan, karena hal itu merupakan wujud nyata penyimpangan terhadap Islam
sebagai agama, terutama tentang paham melaksanakan shalat lima waktu hanya
sehari dalam seminggu saja.
Padahal
yang namanya Islam haruslah sesuai dengan syariat agama Islam itu sendiri,
apalagi mengenai rukun Islam yang ketentuannya sudah tidak bisa ditawar atau
diganggu gugat kecuali ada udzur. Kegiatan ke-Islaman yang dilakukan
masyarakat Kampung Naga sudahlah menyimpang dari ketentuan ajaran Islam,
terlebih lagi mengenai proses sholat lima waktu yang hanya dilakukan satu hari
dalam satu minggu. Inilai kontroversi Islam yang terjadi di Kampung Naga,
mereka lebih memegang erat adat warisan nenek moyang ketimbang ketentuan agama
yang mereka anut (Islam).
Seharusnya,
masyarakat Kampung Naga membuat agama tersendiri berdasarkan keyakinan terhadap
nenek moyang mereka tanpa mengaitkan kata Islam pada kepercayaan mereka. Karena
secara tidak langsung mereka telah merubah dan merusak citra agama Islam dengan
menomor duakan syariat Islam daripada kepercayaan mereka terhadap adat warisan
nenek moyang.
Islam
sendiri tidak melarang suatu adat istiadat apabila sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, masalah mengenai kontroversi Islam di Kampung Naga adalah mengenai
bukannya adat istiadat mereka yang sisesuaikan dengan syariat Islam tetapi
sebaliknya, dalam artian syariat Islam yang mengikuti adat istiadat warisan
nenek moyang mereka. Menurut hemat penulis, masyarakat Kampung Naga harus
mengalami pembaharuan. Pembaharuan yang dimaksud bukanlah suatu pembaharuan
mengenai penetapan adat istiadat mereka sebagai acuan beragama, tetapi syariat
agama yang harus mereka jadikan acuan dalam melestarikan adat istiadat warisan
nenek moyang mereka, atau dengan menetapkan keyakinan mereka terhadap adat
istiadat nenek moyang sebagai agama mereka dan tidak menyertai kata Islam di
dalamnya.
Menurut
kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan
nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang
datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan
karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh
masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun,
hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Sumber:
http://www.uniknya.com/2011/08/5-wisata-kampung-adat-di-jawa-barat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar